Social Icons

Pages

Thursday, October 25, 2012

Contoh penerapan metode ilmiah


BAB I
PENDAHULUAN




A.   Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang besar.
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah.
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab.

B.   Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Apakah metode Ilmiah itu ?
2.    Bagaimana tata cara pembuatan dan tahap-tahap pelaksanaan metode Ilmiah?
3.    Bagaimana contoh penerapan metode ilmiah terhadap perpustakaan?





















BAB II
PEMBAHASAN



A.   Pengertian Metode Ilmiah

Menurut Almadk (1939),” metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”
Metode ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.    Berdasarkan fakta
2.    Bebas dari prasangka
3.    Menggunakan prinsip-prinsip analisa
4.    Menggunakan hipotesa
5.    Menggunakan ukuran objektif
6.    Menggunakan teknik kuantifikasi


B.   Langkah dalam Metode Ilmiah
Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu :
1.    Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.
2.    Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
3.    Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
4.    Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.
5.    Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).
6.    Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.
7.    Menulis laporan Ilmiah. Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu penelitian ilmiah.

Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah:
1.    Rasa ingin tahu
2.    Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
3.    Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4.    Tekun (tidak putus asa)
5.    Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
6.    Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)



C.   Penelitian Ilmiah
Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian (research). Research berasal dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga research atau penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan.
Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1961) ialah penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh fakta baru dalam cabang ilmu pengetahuan.
Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan (dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain.
Ciri-ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981)
1.    Dilakukan dengan cara-cara yang sistematik dan seksama.
2.    Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan (menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan)
3.    Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata
4.    Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain.

Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:
1.    Sistematik, berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
2.    Logis, suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum.
3.    Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
4.    Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.
5.    Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif, penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang peneliti.









BAB III
PENUTUP




A.   Kesimpulan
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinya. Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah.


B.   Saran
Makalah ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan yang ada di makalah ini, oleh karena itu penulis berharap kepada para pembaca agar memberikan yang lebih baik lagi untuk penulisan yang selanjutnya demi kemajuan bangsa dan negara. Apabila ada kesalahan penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.


Kode Etik Pustakawan sebagai Guide Line


                                                            BAB I                                                                 PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang
Perpustakaan merupakan salah satu alat media untuk mendapatkan informasi. Dan tentu saja sebuah perpustakaan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya media dan sumberdaya manusia. Satu hal yang sangat menentukan dalam upaya meningkatkan pelayanan pengguna dalam sebuah perpustakaan adalah pustakawan. Seorang pustakawan haruslah memiliki kemampuan yang handal dalam melayani para penggunanya apalagi di zaman yang dengan mudahnya seseorang mendapatkan informasi. Seorang pustakawan yang handal akan terwujud jika mereka bekerja secara profesional dan menjalankan seluruh kode etik yang berlaku. Namun sayangnya, belum semua pustakawan mengerti apa itu kode etik apalagi jika kode etik tersebut menyangkut pustakawan sebagai profesi.
Mencermati perkembangan dan kaitannya dengan kompetensi pustakawan, menurut Harkrisyati Kamil (2005) dalam Nurazizah (2008, 1) bahwa pustakawan Indonesia pada umumnya memiliki keterbatasan antara lain: (1) Kurang memiliki pengetahuan bisnis (2) pustakawan tidak memiliki kemampuan untuk bergerak secara bersamaan dalam ruang lingkup informasi, organisasi, dan sasaran organisasi (3) kemampuan kerjasama dalam kelompok dan juga kepemimpinannya tidak memadai dalam posisi strategis dan (4) kurang memiliki kemampuan manajerial.
Perpustakaan dan kode etik pustakawan adalah dua unsur penyangga ilmu pengetahuan. Kedua hal ini dapat dikatakan sebagai gerbangnya sebuah  pendukung masyarakat untuk gemar membaca. Perpustakaan menjadi pusat sumber daya informasi, sedangkan kode etik pustakawan sebagai pedoman berjalannya kegiatan perpustakaan. Perpustakaan dikatakan sebagai pusat sumber daya informasi karena perpustakaan mengelola informasi dari mulai perolehan sampai pada penyajiannya, sedangkan kode etik mengatur wilayah nilai-nilainya.
Menurut Sulistyo-Basuki (2001), kode etik pustakawan adalah sistem norma, nilai, dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi pustakawan. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yang sebenarnya adalah untuk mengatur ruang gerak para profesional agar memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya dan mencegahnya dari perbuatan yang tidak profesional. Maka, menurut Melvil Dewey, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuatan pustakawan terletak pada etika yang dimiliki.

B.            Masalah
Makalah ini membahas tentang kode etik pustakawan sebagai “Guide Line”  untuk menjaga integritas dan reputasi pustakawan. Ketidaktahuan pustakawan maupun penerapan kode etik yang belum maksimal menyebabkan reputasi pustakawan dimata pengguna maupun masyarakat terlihat kurang baik. Maka dari itu, penulis mengajukan beberapa pertanyaan dalam makalah ini:
1.             Apa pengertian dari kode etik profesi?
2.             Apakah kode etik itu benar-benar menjadi “Guid Line” atau hanya sekedar peraturan?
3.             Apa hubungan antara kode etik, hak, dan kewajiban?
4.             Adakah sanksi yang diberikan pada pustakawan yang melanggar kode etik?
5.             Apakah reputasi profesi dijalankan dengan benar/tidak dan bagaimana nilai-nilai kode etik pustakawan?
6.             Bagaimana membangun  integritas maupun reputasi profesi itu?

C.            Tujuan
1.             Mengetahui apa yang dimaksud dengan kode etik profesi.
2.             Mengetahui hubungan antara kode etik, hak dan kewajiban.
3.             Mengetahui bagaimana cara membangun integritas dan reputasi pustakawan.
D.           Manfaat
1.      Secara akademis, penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mempelajari kode etik pustakawan.
2.      Secara umum, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pustakawan untuk membangun dan mejaga reputasi pustakawan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa sumber yang mendefinisikan kode etik,
a)             Kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi (Oteng/ Sutisna, 1986, 364).
b)             Tujuan kode etik sebenarnya adalah untuk mengatur ruang gerak para profesonal agar memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya dan mencegahnya dari perbuatan yang tidak profesional  Sulistyo-Basuki (2011)
c)             Menurut Hermawan dan Zen (2006), pada dasarnya tujuan kode etik suatu profesi adalah sebagi berikut:
Ø   Menjaga martabat dan moral profesi
Ø   Memelihara hubungan anggota profesi
Ø   Meningkatkan pengabdian anggota profesi
Ø   Meningkatkan mutu profesi
Ø   Melindungi masyarakat pemakai








BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.           Pengertian Kode Etik Profesi
Kode Etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standar perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Kode etik pustakawan di Indonesia lahir setelah melalui berbagai perkembangan selama 20 tahun melalui kongres yang diadakan di berbagai kota. Ikatan pustakawan Indonesia (IPI) menyadari perlu adanya kode etik yang dapat dijadikan pedoman perilaku bagi para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya didalam masyarakat. Kode etik pustakawan merupakan bagian yang terpisah dari AD/ART IPI dimulai sejak 1993, 1997 yang diperbaharui pada 19 september 2002 pada kongres IPI ke-9 di Batu Malang, Jawa Timur dan disempurnakan kembali pada 15 November 2006 di Denpasar, Bali. 


B.            Kode Etik Profesi sebagai Guid Line
Kode etik dijadikan standart aktivitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai pedoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi, yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986, 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi. Kode etik bersifat mengikat semua anggota dengan tujuan mengendalikan perilaku profesional dalam upaya meningkatkan citra profesi. Kode etik selain menjadi aturan juga menjadi landasan moral yang harus dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesi. Dalam hal ini kode etik pustakawan akan memberikan pedoman tentang bagaimana kita bersikap, baik bersikap terhadap pemustaka, rekan sejawat maupun pimpinan.
Kode etik adalah norma, nilai, dan aturan profesional tertulis secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesinal. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Menurut Sulistyo-Basuki (2001), tujuan kode etik sebenarnya adalah untuk mengatur ruang gerak para profesonal agar memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya dan mencegahnya dari perbuatan yang tidak profesional. Maka, menurut Melvil Dewey, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuatan pustakawan terletak pada etika yang dimiliki (Bopp and Smith, 2001, 29).
Pada 1939, kode etik ini ditampilkan secara lengkap di ALA Bulletin. Kode etik ini terdiri dari 5 bagian besar, yaitu:
Ø  Hubungan pustakawan dengan pemerintah
Ø  Hubungan pustakawan dengan pemakai
Ø  Hubungan pustakawan dengan staf di perpustakaannya
Ø  Hubungan perpustakaan dengan profesinya
Ø  Hubungan pustakawan dengan masyarakat
Menurut Hermawan dan Zen (2006), pada dasarnya tujuan kode etik suatu profesi adalah sebagi berikut:
Ø  Menjaga martabat dan moral profesi
Ø  Memelihara hubungan anggota profesi
Ø  Meningkatkan pengabdian anggota profesi
Ø  Meningkatkan mutu profesi
Ø  Melindungi masyarakat pemakai
Dalam Code of Professional Ethics (APA,2003:4), suatu etika profesi menuntut memiliki prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari kewajiban moral anggotanya yang berupa:
Ø  Respect for rights and dignity of the person, yaitu prinsip yang selalu menghormati hak dan martabat masyarakat.
Ø  Competence, yaitu kemampuan atau keahlian yang sesuai dengan bidang kerja yang ditekuni.
Ø  Responsibility, yaitu tanggung jawab dalam setiap pelaksanaan tugas-tugas.
Ø  Integrity, yaitu tidak terpisah-pisah antara hak dan kewajiban, selalu ada keseimbangan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban di setiap tugasnya.
Pustakawan perlu memiliki pengetahuan untuk memahami arti penting kode etik. Seperti pengetahuan bagaimana cara berperilaku dan aturan bersikap. Ketika seorang pustakawan mengerjakan kewajiban mereka terhadap masyarakat, pustakawan harus memperhatikan segi psikologi masyarakat tersebut. Karena tingkah laku manusia memiliki 2 aspek yang saling berinteraksi, yaitu aspek objektif yang bersifat struktural (aspek jasmaniah dari tingkah laku tersebut) dan yang kedua, aspek subjektif yang bersifat fungsional (aspek rohaniah dari tingkah laku tersebut) (Qalyubi, 2003, 247).
Proses reputasi profesi yang dijalankan terkadang berjalan bukan tanpa hambatan, hal ini diakibatkan karena ketidaktahuan pustakawan akan adanya kode etik pustakawan yang harus dilaksanakan demi menjaga integritas pustakawan. Proses reputasi dijalankan agar pustakawan bersikap profesional. Arifin (2006) menjabarkan profesinalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian “jasa profesi” ialah:
Ø  Kerja seorang profesional beritikad untuk merealisasikan kebijakan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah material.
Ø  Kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan atau pelatihan yang panjang, eksklusif, dan berat.
Ø  Kerja seorang profesional-diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral-harus menundukkan diri padasebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.
C.            Sanksi kode etik
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanks sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
Sanksi pelanggaran kode etik :
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari kontrol ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggotaanggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.

D.           Nilai-nilai kode etik pustakawan
Bertens (2004) mengatakan bahwa untuk menjelaskan pengertian nilai bukan menjadi perkara yang mudah. Setidaknya, dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik, sesuatu yang disukai, dan sesuatu yang diinginkan.
Nilai-nilai menurut Harch (1997) merupakan konsep yang hidup di dalam pikiran manusia dalam suatu kelompok, yang dianggap memiliki makna untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Nilai-nilai ini kemudian menentukan benar, salah, baik, atau buruk. Kelompok yang dimaksud dalam konteks ini adalah kelompok pustakawan yang tergabung dalam ikatan pustakawan indonesia (IPI) ynag telah bermufakat untuk menciptakan suatu pedoman sikap yang dikenal dengan kode etik pustakawan. Dalam membuat pedoman sikap ini, tentu berdasarkan nilai-nilai yang dipahami oleh penyusunannya. Persolan yang perlu digali adalah persoalan nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik itu.

E.            Cara membangun Integritas
Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas atau tidak sejauh mereka bertindak sesuai dengan nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan.
Menurut kelompok kami, cara untuk membangun integritas adalah dengan bekerja secara profesional dalam segala bidang, melakukan sesuatu dengan penuh rasa bertanggung jawab, memberikan pelayanan yang maksimal kepada peustaka, dan menjalin hubungan baik dengan pemustaka, rekan sejawat atau pimpinan. Sikap seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap pustakawan di Indonesia, selain dapat menjaga integritas juga dapat menaikkan citra pustakawan.
Secara umum, tugas utama seorang pustakawan adalah sebagai pelayan masyarakat terutama masyarakat pengguna perpustakaan. Maka dari itu, untuk menjadi pustakawan yang handal dan profesional, seorang pustakawan harus memiliki skill dan juga tanggung jawab untuk menjaga harkat dan martabat profesi pustakawan dengan menjalankan kode etik tersebut dengan sepenuh hati. Selain itu, melakukan pelayanan yang prima terhadap masyarakat pengguna, seorang pustakawan haruslah memiliki kemampuan untuk memahami kebutuhan masyarakat pengguna.
Menurut Suherman (2012), idealnya seorang pustakawan adalah mereka yang menjadi pustakawan versatilis, yaitu pustakawan yang ada dalam zaman baru yang memiliki karakteristik seorang versatilis, yaitu mereka yang mampu mengkombinasikan kompetensi dan keahlian teknis dengan pengalaman bisnis dan kemampuan memberikan solusi komprehensif. Mereka adalah orang-orang  yang memiliki pengalaman, kemampuan menjalankan berbagai tugas yang beragam dan multidisiplin. Sifat sang versatilis adalah fleksibel terhadap teknologi, orientasi utamanya adalah untuk memberikan solusi sesuai kebutuhan yang diminta oleh pengguna.



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Perpustakaan dan kode etik pustakawan adalah dua unsur penyangga ilmu pengetahuan. Perpustakaan menjadi pusat sumber daya informasi, sedangkan kode etik pustakawan sebagai pedoman berjalannya kegiatan perpustakaan. Kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standar perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat. Kode etik juga berfungsi sebagai Guide Line untuk menjaga integritas atau reputasi profesi. Hal ini di karenakan kode etik memiliki fungsi untuk menjadi pedoman bagi kelompok profesional ketika menemukan masalah dalam praktik. Selain itu juga dapat menjadi pembatas kita dalam bertindak agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak etis dengan cara memberikan sanki kepada pelanggar kode etik.

 
Daftar Pustaka

Suwarno, Wiji. 2010. Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Yogyakarta:                                     Ar-Ruz Media Group.

Suherman. 2012.  “Pustakawan Asean dalam Pusaran Arus Informasi Global”, Jurnal Media Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, 19(1)2012 : 13-16.

Muftiyyah, Rifda. 2009. Pengaruh Nilai-Nilai Keislaman Terhadap Prilaku Etika Profesi Pustakawan Menurut IPI di Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. skripsi. Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya

Nurazizah. 2008. Usaha Pustakawan dalam Meningkatkan Kualitas Layanan Pengguna di Perpustakaan FIB UI. Pdf. Diunduh dari ..... pada tanggal 8 Oktober 2012, pkl. 15.00 WIB











You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 

Sample text

Sample Text

Sample Text